WELCOME

SELAMAT DATANG

Tuesday, February 5, 2013

alkahfi

Ashabul Kahfi
(Seri Kecerdasan Ali bin Abi Thalib)
Dari Imam Ali ra yang menceritakan
Ashabul Kahfi kepada seorang Yahudi
yang ingin menguji kecerdasan Imam Ali
ra. Apabila Imam Ali ra tidak bisa
menceritakandan menjawab
pertanyaannya, maka ia tidak mau
memeluk ajaran Islam yang dibawa Nabi
Muhammad saw.
Tiga orang pendeta Yahudi datang
menemui Imam Ali ra, mereka ingin
menguji kebenaran agama Islam.
Salah seorang berkata, “Wahai Ali, ada
satu masalah yang ingin kutanyakan
kepadamu.”
Imam Ali ra pun berkata, “Bertanyalah
sesukamu!”
Pendeta Yahudi tadi berkata,
“Beritahukan kepadaku tentang
sekelompok remaja pada zaman dahulu.
Yang mana mereka mati selama tiga
ratus sembilan tahun, lalu Allah
hidupkan kembali. Bagaimana kisah
mereka itu?”
Imam Ali ra tersenyum dan mulai
menceritakan keinginan dari pendeta
Yahudi tersebut, “Wahai Yahudi, mereka
adalah penghuni gua (Ashabul Kahfi).
Allah telah menurunkan atas Nabi kami,
Muhammad saw, al-Quran yang memuat
kisah mereka. Kalau engkau mau, akan
kami bacakan kisah mereka di
hadapanmu.”
Orang Yahudi berkata, “Betapa sering
aku mendengar bacaan al-Quran. Kalau
engkau memang tahu, katakan kepadaku
nama-nama mereka, nama raja, nama
anjing, nama gunung, nama gua dan
kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Lalu Imam Ali ra duduk sambil
mengangkat kedua lututnya dengan
melilitkan sorban pada kedua lututnya,
dengan sorban Rasulullah saw, seraya
berkata, “Wahai saudara bangsa Arab,
kekasihku Muhammad saw pernah
bercerita kepadaku bahwa di daerah
Romawi terdapat sebuah kota bernama
Afsus dan juga dinamakan Thurthus.
Nama kota itu di zaman jahiliyah adalah
Afsus, lalu ketika Islam datang
dinamakan Thurthus. Mereka
mempunyai seorang raja yang saleh.
Beberapa waktu kemudian, raja itu
wafat, lalu tersebar berita kematiannya
hingga seorang raja dari Persia yang
bernama Diqyanus, mendengar berita
tersebut. Diqyanus adalah raja yang
sangat zalim dan kafir. Dia datang
bersama bala tentara ke kota Afsus dan
menjadikan sebagai kerajaannya, dan
membangun sebuah istana megah.”
Yahudi itu berkata, “Jika anda benar-
benar tahu, maka jelaskan kepadaku
tentang istana itu dan ruangan-
ruangannya!”
Imam Ali ra segera menjawab, “Raja itu
membangun istana dari marmer,
panjangnya satu farsakh atau sama
dengan 5 hingga 6 km, lebarnya satu
farsakh. Di dalamnya terdapat empat
ribu pilar dari emas dan seribu lampu
emas, lantainya dari suasa dan setiap
malam diisi dengan minyak wangi yang
harum. Ia letakkan di tumur, seratus
delapan puluh kekuatan, demikian juga
di bagian baratnya. Matahari dari sejak
terbit sampai terbenam mengitari istana.
Ia membuat singgasana dari emas yang
panjangnya delapan puluh hasta dan
berhiaskan mutiara. Ia letakkan di
sebelah kanan singgasana delapan puluh
kursi emas untuk para panglimanya dan
si sebelah kirinya delapan puluh kursi
emas juga. Dia duduk di atas
singgasananya sambil mengenakan
mahkota di atas kepalanya.”
Yahudi itu dengan bersemangat berkata
melanjutkan, “Wahai Ali, jika engkau
sungguh mengetahui, katakan kepadaku
terbuat dari apa mahkotanya?”
Imam Ali ra menjawab, “Wahai saudara
Yahudi, mahkotanya terbuat dari emas
cetakan yang mempunyai sembilan
pucuk. Pada setiap pucuk terdapat lampu
yang bersinar laksana lampu yang
bersinar di malam yang gelap. Dia
memiliki lima puluh remaja dari anak
para panglima. Mereka berpakaian
terbuat dari sutera merah dan celana
yang terbuat dari sutera hijau. Mereka
memakai mahkota, gelang tangan dan
gelang kaki yang terbuat dari emas
berkilauan. Dia juga jadikan enam
pemuda dari kalangan ulam sebagai
menteri-menteri. Dia tidak akan
menetapkan satu keputusan tanpa
berdiskusi dengan mereka. tiga orang
dari mereka berdiri di sebelah kanan dan
tiga orang di sebelah kiri sang raja.”
Yahudi berkata, “Wahai Ali! Jika Anda
benar, beritahu aku siapa nama enam
orang itu?”
Imam Ali ra menjawab, “Kekasihku
Muhammad saw bercerita padaku,
bahwa tiga orang yang di sebelah kanan
adalah Tamlikho, Muksalmina, dan
Muhsalmina. Sedang yang di sebelah kiri
Marthuliyus, Kaythus, dan Sadaniyus.
Raja itu senantiasa meminta pendapat
dari mereka dalam segala urusannya.
Jika ia duduk di singgasananya yang
mewah setiap hari, orang-orang pun
berkumpul di sekitarnya, maka
datanglah tiga pemuda dari sebuah
pintu. Di tangan salah seorang dari
mereka terdapat gelas emas yang berisi
minyak kesturi (misk). Di tangan pemuda
kedua adalah gelas perak berisi air
mawar, serta di tangan pemuda ketiga
bertengger seekor burung yang molek.
Jika yang satu berteriak, maka burung
itu terbang menuju gelas yang berisi air
mawar, lalu ia mandi dengan air mawar
itu. Bulu dan sayapnya menyerap air
mawar yang wangi.
Jika yang kedua berteriak, maka si
burung terbang menuju gelas yang berisi
minyak wangi (misk). Burung kecil itu
pun mandi dan menyerap minyak wangi
dengan bulu dan sayapnya. Kemudian
jika yang ketiga berteriak, maka burung
itu terbang menuju mahkota raja untuk
kemudian mengibaskan bulu dan
sayapnya di atas kepala raja.
Raja itu memegang kekuasaannya
selama tiga puluh tahun tanpa pernah
mengalami sakit kepala, panas, flu, dan
sakit lainnya. Melihat keadaan dirinya
seperti itu, ia menjadi congkak dan
angkuh, sehingga dia mengakui dirinya
sebagai tuhan (Rabb). Dia mengajak
menteri dan rakyatnya untuk
menyembah kepada dirinya. Setiap orang
yang menerima pengakuan dirinya
sebagai tuhan, akan diberi hadiah dan
mendapat keistimewaan, sedangkan
yang enggan untuk menerimanya akan
disiksa dan dibunuh. Akhirnya mereka
tunduk kepada keinginan sang raja.
Menteri dan penjaga istana menganggap
dia sebagai tuhan selain Allah swt.
Suatu hari di saat pesta berlangsung,
sang raja duduk di atas singgasana
sambil mengenakan mahkota di atas
kepalanya. Tiba-tiba muncul beberapa
panglima menyampaikan berita, bahwa
pasukan Persia telah siap membunuh
raja. Sang raja amat panik, hingga
mahkota yang dikenakannya jatuh dari
atas kepala, sedang ia sendiri terjungkal
dari singgasana. Salah seorang dari tiga
pemuda yang berada di samping raja
menyaksikan hal tersebut. Dia adalah si
cerdik bernama Tamlikho. Pemuda itu
berpikir dan berkata dalam hatinya, “Jika
Diqyanus (si raja itu) adalah tuhan
seperti yang ia akui sendiri, pastilah ia
tidak akan sedih, tidak tidur, tidak
kencing atau buang air. Karena semua
bukan sifat dari Tuhan.
Setiap hari enam pemuda tersebut selalu
berkumpul di tempat salah seorang dari
mereka. Setelah terjadi peristiwa tadi,
mereka tengah berkumpul di tempat
Tamlikho, namun Tamlikho tidak ikut
makan dan minum. Mereka bertanya,
“Wahai Tamlikho, mengapa engkau tidak
makan dan minum?” Tamlikho
menjawab, “Wahai saudara-saudaraku,
telah terjadi sesuatu dalam hatiku, ini
yang mencegahku makan, minum dan
tidur.
Mereka bertanya, “Apa itu wahai
Tamlikho?”
Dia menjawab, “Aku lama sekali berpikir
tentang langit. Aku berkata, “Siapa yang
meninggikan langit menjadi atap yang
kokoh tanpa ada pengikat di atasnya dan
tanpa tiang penyangga di bawahnya?
Siapa yang menjalankan matahari dan
bulan? Siapa yang menghiasi langit
dengan bintang gemintang? Lalu aku
lama termenung tentang bumi ini, siapa
yangmenjadikannya terapung di alas
permukaan laut? Siapa yang menahan
dan mengikatnya dengan gunung-gunung
yang kokoh agar tidak tenggelam?”
Kemudian aku berpikir tentang diriku.
Aku berkata,
“Siapa yang mengeluarkanku dari rahim
ibu? Siapa yang memberiku makan dan
membimbingku? Sungguh ada Pencipta
dan Pengatur semua ini selain
Diqyanus.”
Lima pemuda tadi tersungkur ke lantai,
mencium kedua kaki Tamlikho dan
berkata, “Wahai Tamlikho, sungguh telah
terjadi di hati kami apa yang telah
melanda hatimu. Berilah kami petunjuk!”
Tamlikho berkata, “Wahai saudara-
saudaraku, aku tidak mendapatkan jalan
untukku dan untuk kalian, selain lari
dari penguasa zalim menuju Penguasa
langit dan bumi.”
Mereka berkata, “Pendapat yang benar
adalah pendapatmu.”
Tamlikho bangkit membeli kurma dengan
uang tiga dirham, lalu menyimpannya di
dalam selendang. Mereka naik kuda dan
pergi ke luar kota. Setelah berjalan
sejauh tiga mil dari kota, Tamlikho
berkata, “Saudaraku, telah hilang dari
kita raja dunia dan kekuasaannya.
Turunlah dari kuda dan berjalanlah,
semoga Allah memudahkan urusan
kalian dan memberikan jalan keluar
kepada kita.”
Mereka pun turun dari kuda dan
berjalan kaki sejauh tujuh farsakh,
sampai kaki mereka berdarah kerena
tidak terbiasa.
Tiba-tiba seorang penggembala
menghampiri mereka…
Tamlikho bertanya, “Wahai
penggembala, apakah engkau memiliki
seteguk air atau susu?”
Aku punya apa yang kalian inginkan,
tetapi aku lihat wajah kalian adalah
wajah-wajah para raja. Menurutku kalian
melarikan diri. Ceritakan pengalaman
kalian kepadaku!
Kami memeluk agama yang melarang
berbohong. Apakah kejujuran membuat
kami selamat?
Maka mereka pun menceritakan apa
yang mereka alami. Si penggembala
langsung tersungkur mencium kaki
mereka sambil berkata, “Sungguh terjadi
di hatiku apa yang terjadi di hati kalian.
Si penggembala meminta mereka
menunggunya. Sementara dia
mengembalikan kambing-kambing
kepada pemiliknya.
Mereka menunggu sampai si
penggembala kembali, tapi kali ini dia
kembali dengan diikuti seekor anjing.
Ketika para pemuda itu melihat anjing,
satu sama lain saling berbicara…
Kami khawatir anjing ini akan membuka
rahasia kita dengan gonggongannya.
Mereka minta dengan sangat agar di
penggembala mengusir anjingnya dengan
batu.
Anjing itu berwarna hitam pekat dan
namanya Qithmir. Ketika anjing itu
melihat gelagat mereka, anjing itu pun
lalu duduk dan dapat berbicara, “Wahai
manusia, mengapa kalian hendak
mengusirku, padahal aku bersaksi tiada
Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan
tiada sekutu atas-Nya. Izinkan aku
menjaga kalian dari musuh yang akan
mengganggu kalian. Aku ingin
mendekatkan diri kepada Allah dengan
hal itu.” Lalu mereka pun
mengijinkannya.
Lalu mereka pun melanjutkan
perjalanan. Sang penggembala mengajak
para pemuda itu untuk menaiki gunung
dan bersembunyi di dalam sebuah gua.
Orang Yahudi berkata, “Wahai Ali, apa
nama gunung itu dan apa nama gua itu?”
Amirul Mukminin menjawab, “Wahai
saudara Yahudi, nama gunung itu adalah
Najlus dan nama gua itu adalah Washid
atau Khairam.”
Imam Ali ra melanjutkan ceritanya,
“Ternyata di dalam gua itu terdapat
beberapa pohon yang berbuah dan mata
air yang bening. Mereka memakan buah-
buahan dan meminum air tersebut.
Ketika malam tiba, mereka masuk ke
dalam gua sedangkan anjing itu duduk di
pintu gua, sambil menjulurkan kedua
kaki depannya. Lalu Allah menyuruh
malaikat maut untuk mencabut ruh
mereka sementara waktu, dan
menugaskan dua malaikat lainnya untuk
menjaga dan mengurus setiap orang dari
mereka. Kedua malaikat itu membalik-
balikkan tubuh mereka ke kanan dan ke
kiri dan dari kiri ke kanan.
Allah mewahyukan kepada matahari agar
pada saat terbit bercondong dari gua
mereka ke sebelah kanan dan ketika
terbenam menjauhi mereka ke sebelah
kiri.
Ketika raja Diqyanus kembali dari
upacara, ia bertanya tentang para
pemuda itu. Lalu dikatakan kepadanya,
bahwa mereka telah meyakini Tuhan
selain Raja Diqyanus. Mereka telah
keluar dari istana dan melarikan diri
darinya. Mendengar hal itu, maka raja
pergi dengan depalan puluh ribu pasukan
berkuda untuk mencari sang pemuda.
Sampailah sang raja di sebuah gunung
dan ia sendiri yang naik ke atas gunung
itu, kemudian mendekati sebuah gua.
Raja melihat para pemuda yang dicari
tengah berbaring, dia yakin para pemuda
itu tengah tidur.
Raja berkata kepada anak buahnya,
“Kalau aku hendak menyiksa mereka,
aku tidak akan menyiksa lebih dari
mereka menyiksa diri mereka sendiri.
Datangkanlah para tukang bangunan!”
Akhirnya mulut gua ditutup dengan batu-
batu dan sang raja berkata, “Katakanlah
kepada mereka agar memohon kepada
Tuhan mereka yang berada di langit. Jika
benar ada, maka Tuhan mereka akan
mengeluarkan para pemuda itu dari
sini.”
Para pemuda tinggal dan tertidur di
dalam gua selam tiga ratus sembilan
tahun. Lalu Allah swt menghidupkan
mereka kembali ketika matahari mulai
terbit. Satu sama lain saling berkata,
“Sungguh kami telah lalai dari ibadah
kepada Allah swt. Mari kita pergi ke
mata air.”
Ternyata mata air dan pohon-pohon
telah kering. Salah seorang berkata,
“Sungguh ini adalah hal yang sangat
aneh. Bagaimana mata air seperti ini
menjadi kering hanya dalam tempo satu
malam, beitu juga dengan
pepohonannya?”
Lalu Allah membuat mereka merasa
lapar. Salah seorang berkata, “Siapa di
antara kita yang bisa pergi membawa
uang ke kota, membeli sesuatu untuk
kita makan?
Hendaknya dia teliti jangan sampai
makanan itu bercampur dengan lemak
babi, seperti tercantum dalam firman
Allah.
“Maka utuslah seorang dari kalian
dengan (membawa) uang ini ke kota
dan lihatlah makanan yang paling
bersih.” (QS. Al-Kahfi: 19)
Yaitu makan yang halal dan enak untuk
dimakan.”
Tamlikho berkata, “Wahai saudara-
saudaraku, aku saja yang membeli
makanan itu. Tetapi, wahai
penggembala, berikan bajumu kepadaku
dan kenakan bajuku ini.”
Tamlikho mengenakan baju si
penggembala dan berjalan melalui
tempat-tempat yang tidak ia ketahui.
Ternyata di atas pintu gerbang kota
berkibar bendera hijau yang bertuliskan
“ Tiada Tuhan selain Allah dan Isa
Ruhullah”. Pemuda itu terpana melihat
bendera itu, dan mengusap-usap
matanya seraya berkata, “Apakah aku
sedang bermimpi.”
Sesaat berlalu ia memasuki kota, dan
melewati sekelompok orang yang tengah
membaca kitab Injil. Beberapa orang
menyapanya hingga ia sampai ke pasar
dan menemui pedangang roti. Ia berkata,
“Wahai tukang roti apa nama kota ini?”
“Afsus” jawab tukang roti ramah.
Ia bertanya lagi, ”Siapakah rajamu?”
“Abdurrahman”’ jawabnya singkat.
Tamlikho berkata, “Jika Anda benar,
sungguh yang kualami ini sangat aneh.
Berikan padaku makanan seharga uang
dirham ini.”
Uang dirham yang berlaku pada masa
Tamlikho berat dan besar, sehingga si
tukang roti terheran-heran melihatnya.
Orang Yahudi berkata kepada Ali, “Jika
kamu benar-benar tahu, katakan padaku
berapa berat dirham itu?”
Imam Ali ra menjawab, “Wahai saudara
Yahudi, kekasihku Muhammad saw
memberitahuku, bahwa berat dirham itu
sepuluh kali dari berat dirham saat ini.”
Imam Ali ra melanjutkan, “Tukang roti
berkata kepada Tamlikho, “Wahai
pemuda, engkau telah mendapat harta
karun? Berikan sebagian kepadaku, jika
tidak Anda akan kubawa kepada raja.”
Tamlikho berkata, “Aku tidak
mendapatkan harta karun. Dirham ini
kuperoleh dari hasil menjual buah-
buahan seharga tiga dirham, tiga hari
yang lalu. Aku keluar dari kota ini,
sementara penghuninya sedang
menyembah raja Diqyanus.”
Oenjual roti pun marah mendengarnya,
“Tidakkah kamu senang mendapat harta
karun, lalu memberikan sebagiannya
kepadaku? Mengapa engkau menyebut
seorang pengusa zalim yang mengaku
dirinya tuhan? Dia telah mati tiga ratus
tahun yang lalu. Anda telah
menghinaku!”
Tukang roti menangkap Tamlikho, dan
orang-orang pun berkumpul. Kemudian
ia dibawa menghadap sang raja yang
cerdas dan adil, “Apa yang pemuda ini
lakukan?”
Mereka pun menjawab, “Orang ini telah
mendapat harta karun.”
Raja berkata, “Tenanglah, Nabi kita Isa
as membolehkan kita mengambil harta
karun, tidak lebih dari seperlimanya
saja. Maka serahkanlah kepadaku
seperlima dari harta karun tersebut,
setelah itu kamu dapat pergi dengan
selamat.”
Tamlikho berkata, “Wahai raja, lihatlah
masalahku ini. Aku tidak mendapatkan
harta karun. Aku penduduk kota ini.”
“Kamu penduduk kota ini?” Tanya raja.
“Ya”, jawabnya.
Raja bertanya lagi, “Apa kamu kenal
seseorang di kota ini?”
“Ya”, jawabnya Tamlikho. Kemudian ia
menyebutkan kira-kira seribu orang.
Namun tak satupun dari mereka yang
dikenal oleh mereka yang berkumpul.
Sang raja berkata, “Hai, kami tidak
ernah mengenal nama-nama itu. Mereka
bukan penduduk zaman ini. Apa kamu
punya rumah di kota ini?”
Tamlikho menjawab, “Ya, wahai paduka
yang mulia. Utuslah seseorang
bersamaku!”
Raja kemudian mengutus beberapa orang
untuk pergi bersamanya. Mereka pergi
menuju sebuah rumah yang berada di
dataran tertinggi kota itu. Mereka
sampai di satu rumah dan lalu
mengetuknya. Tidak lama kemudian
keluarlah seorang tua renta, kedua
alisnya panjang terurai ke bawah
menutupi kedua matanya.
Pengawal berkata, “Pemuda ini mengaku
bahwa ini adalah rumahnya.”
Orang tua itu marah dan menoleh
kepada Tamlikho, “Siapa namamu?!”
“Tamlikho bin Filsin”, jawab Tamlikho.
Ulangi lagi!
Tamlokho bin Filsin
Kemudian orang tua itu tersungkur
menciumi tangan dan kaki Tamlikho,
“Dia adalah kekekku. Dia adalah salah
seorang pemuda yang lari dari Diqyanus,
raja yang zalim, menuju Raja langit dan
bumi. Sungguh Nabi Isa pernah
mengatakan, bahwa mereka akan hidup
kembali di dunia ini.”
Berita tersebut akhirnya sampai ke
telinga raja, ia pun segera mendatangi
mereka.
Ketika melihat Tamlikho, raja segera
turun dari kuda dan mengangkat
Tamlikho ke atas pundaknya. Orang-
orang pun menciumi tangan dan kaki
Tamlikho.
Mereka bertanya, “Hai Tamlikho, apa
yang sedang dikerjakan teman-
temanmu? Tamlikho memberitahu bahwa
mereka berada di dalam gua. Pada saat
itu kota Afsus dikuasai oleh dua
penguasa, penguasa mukmin dan kafir.
Keduanya lalu berangkat diiringi para
pengikutnya. Ketika mereka mendekati
gua, Tamlikho berkata kepada mereka,
“Aku khawatir saudara-saudaraku
mendengar suara kaki kuda dan
gemerincing senjata, sehingga mereka
anggap Diqyanus telah bersiap
menyerang. Mereka akan sangat
ketakutan. Oleh karenanya kalian
tinggallah di sini sebentar, biarkan aku
masuk ke dalam untuk memberitahu
mereka.
Mereka pun setuju dan Tamlkho masuk
menemui teman-temannya.
Para pemuda tadi langsung merangkul
Tamlikho sambil berkata,
“ Alhamdulillah.” Allah swt telah
menyelamatkan dirimu dari Diqyanus!”
Tamlikho berkata, “Tahukah kalian,
berapa lama kita tinggal di tempat ini?”
“Dua hari satu malam”, jawab mereka.
Tamlikho berkata lagi, “Tidak, tetapi
kalian tinggal di sini, tiga ratus sembilan
tahun!” Diqyanus kini telah mati. Waktu
demi waktu telah berlalu dan kini
penduduk kota telah beriman kepada
Allah Yang Mahabesar.
Mereka berkata, “Wahai Tamlikho, kamu
ingini kita berbuat fitnah (baca:
keributan atau prahara) kepada orang-
orang itu?”
Kata Tamlikho, “Lalu apa yang kalian
inginkan?”
Mereka berkata, “Angkatlah tanganmu,
kami akan mengangkat tangan kami.”
Mereka semua mengangkat tangan dan
berdoa, “Ya Allah, demi kebenaran yang
Engkau tampakkan kepada kami, berupa
keanehan dalam diri kami, cabutlah
nyawa kami agar tidak seorang pun
mengetahui kami.
Allah swt mengutus malaikat maut untuk
mencabut nyawa mereka. Lalu Allah
menutup pintu gua.
Kedua raja itu tidak sabar menanti.
Mereka segera menyusul Tamlikho
karena lama.
Dua penguasa tadi mengelilingi gua
selama tujuh hari tujuh malam, namun
tidak menemukan pintu atau lubang
pada gua itu. Mereka berdua yakin
bahwa itu adalah kebesaran ciptaan
Allah Yang Mahamulia, dan bahwa
keadaan ini merupakan pelajaran
(‘ibrah) penting yang diperlihatkan
kepada kita semua.
Penguasa yang beriman berkata,
“Meraka mati atas dasar agamaku dan
akan kubangun di atas pintu gua ini,
sebuah mesjid.” Sementara penguasa
kafir berkata, “Tidak! Mereka mati atas
dasar agamaku dan akan kubangun
tempat peribadatan.”
Akhirnya mereka berperang dan
penguasa mukmin mengalahkan
penguasa kafir, yang dijelaskan Allah
swt: “Dan berkata orang-orang yang
menang, akan kami jadikan di atas
mereka sebuah mesjid” (QS. Al-Kahfi:
21).
Itulah kisah mereka, wahai Yahudi.” Lalu
Imam Ali ra berkata, “Aku bertanya
kepadamu wahai Yahudi, apakah semua
itu sesuai dengan yang ada di dalam
Taurat kalian?”
Orang Yahudi itu berkata, “Anda tidak
menambah dan tidak mengurangi satu
kata pun wahai Abul Hasan. Jangan lagi
anda panggil aku Yahudi. Aku bersaksi
tiada Tuhan selain Allah, Muhammad
adalah hamba serta utusan Allah, dan
anda adalah orang yang paling pandai
dari umat Muhammad ini.”
Hikmah yang dapat diambil dari kisah ini
adalah Allah swt akan menolong orang-
orang yang berbuat baik dan ingin
menghancurkan serta meninggalkan
kezaliman.
Allah swt akan selalu menjaga dan
mencintai orang-orang yang beriman
kepada-Nya dan kepada utusan-Nya.

No comments:

Post a Comment