WELCOME

SELAMAT DATANG

Tuesday, December 20, 2011

BENCI ATAU RINDU?

Masih ingat, siapa takoh besar yang
lahir 8 Juni ? Benar,
Soeharto. Sosok yang lahir pada 8
Juni 1921 dan wafat 27 Januari
2008 itu adalah sosok besar yang
pernah memimpin Indonesia.Sejarah tidak mungkin
akan menghapus.Bahkan hari-hari
ini, di saat harga sembako kian
mahal,banyak orang merindukan
atau kangen berat pada Pak Harto. Memang Pak Harto selalu penuh
kontroversi.Tokoh-tokoh besar
sepanjang sejarah memang selalu
mengundang kontroversi. Tanpa
kontroversi yang membelah publik
dalam dua kubu yang mengagumi dan membenci,maka kebesaran
sang tokoh malah patut
dipertanyakan. Kita masih ingat,sejak 100 hari
wafatnya hingga saat ini, para
pengagum Soeharto terus
mendesakkan keinginan agar
pemerintah SBY segera
menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada Soeharto. Alasannya,
Soeharto dipandang sebagai putra
terbaik bangsa yang pernah
memimpin dan mempertahankan
kesatuan Negara. Sebenarnya usulan memberi gelar
kepahlawanan itu sah-sah saja
diajukan Berdasar Undang-Undang
no 33 tahun 1964, terdapat tiga
kriteria untuk penetapan pahlawan
nasional yakni warga negara Indonesia, berjasa dalam membela
bangsa dan negara, tidak pernah
cacat dalam perjuangannya.. Oleh kubu yang membenci Pak
Harto, sosok satu ini dinilai sudah
banyak cacatnya sehingga tak layak
diberi gelar pahlawan nasional. Ini
bisa dirunut dari saat ketika Pak
Harto meraih kursi RI-1 lewat Supersemar 1966.Lewat surat itu,
Pak Harto bisa dikatakan mengambil
alih posisi Bung Karno sebagai
Presiden. Ironisnya, dalam beragam
kesempatan pasca Supersemar,
Bung Karnopun membantah posisinya telah diambil alih
Soeharto. Toh fakta kemudian berbicara,
setelah menggenggam Supersemar,
Soeharto mampu merekayasa
Sidang Umum MPRS pada Juni
1966 dengan dua TAP (TAP MPRS
No IX/1966 dan TAP MPRS No XV/1966 yang mengukuhkan
posisinya. Dengan dua TAP itu,
pada 12 Maret 1967, Soeharto
dilantik sebagai Penjabat Presiden,
dan akhirnya pada 27 Maret 1968
dilantik sebagai Presiden RI kedua oleh MPRS, lalu dipilih kembali oleh
MPR pada 1973 hingga 1998. Begitulah, langkah Pak Harto meraih
RI 1 mengesankan tidak ada
pertumpahan darah atas Bung
Karno. Namun bagi para pendukung
Bung Karno atau yang dicap PKI,
darah itu tetap tertumpah.Angkanya jutaan. Sebagian lain hingga kini
jadi “eksil” di Eropa dan bagian lain
dunia. Masalah PKI ini hingga
sekarang membelah bangsa ini
dalam dendam, seperti drama karya
Michael Christopher yang berjudul “The Black Angel” tentang
kebencian yang tak bertepi. Machiavelli Kelihaian Soeharto dalam meraih
kekuasaaan bisa dilihat dari
beragam persepektif. Tapi entahlah
dalam hal ini, penulis teringat
pemikiran dasar Niccolo Machiavelli
tentang politik. Seperti diketahui, filsuf berdarah Yahudi bernama Italia
yang hidup pada 1469-1527 sangat
diagungkan oleh para diktator yang
doyan menghalalkan berbagai cara,
seperti tampak dari karya abadinya Il
Principe. Memang sejatinya, lewat karya-
karyanya, Machiavelli layak disebut
sebagai peletak dasar ilmu politik
dan pemikir awal yang mendorong
terjadinya proses sekularisasi
(desakralisasi) politik. Tapi publik termasuk para ditator atau politisi
banal negri ini (termasuk mungkin
Pak Harto) terlanjur lebih menyukai
tafsir Machiavelli sebagai penganjur
politik yang menghalalkan semua
cara. Dalam upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan,
segala cara bisa ditempuh, mulai
dengan berbohong hingga
membunuh serta menyingkirkan
segenap lawan politik (Buku Il
Principe). Kalau kita menyimak 32 tahun
kekuasaan Pak Harto, praksis (teori
dan praktik) politik “machiavellian”
dengan mengabaikan etika atau
moral amat menonjol. Semua hal
terpusat pada Soeharto dan bagaimana kekuasaannya bisa
dilanggengkan di tangannya.
Memang ada pemilu atau parpol,
tapi semua diskenario demi
menunjukkan dia seorang
demokrat.Padahal nyatanya tak ada demokrasi. Mediapun
dibungkam..Kalau macam-macam,
dibreidel. Penyingkiran lawan politik
seperti pembuangan ke Buru,
Penembakan Misterius (Petrus) dan
penculikan para mahasiswa, sungguh mengabaikan etika.
Martabat manusia bisa dikorbankan
demi kekuasaan. Tidak heran
korupsi dan segala bentuk KKN lain
mulai tumbuh subur justru di era Pak
Harto. Tidak ehran,pasca wafatnya, suara anti Suharto begitu
dominan.Pak hato benar-benar
dibenci. Dan jujur saja, praksis politik di tanah
air hingga saat ini masih bercorak
“machiavellian”. Jajaran birokrasi
dari era Pak Harto belum tersentuh
reformasi, kendati wacana reformasi
birokrasi kerap diwacanakan. Orientasi politik masih pada jabatan
alias kekuasaan.Bukan
kesejahteraan rakyat.
Kesejahteraanpun hanya dirasakan
segelintir orang yang beruntung
memegang kekuasaan.Mereka tidak mengenal krisis, meski dunia tengah
dilanda krisis pangan dan energi. Aparat hukumpun doyan
memanipulasi hukum sehingga jual
beli perkarapun seperti kasus terbaru
tertangkap tangannya Hakim PN
Jakarta Syarifudin oleh KPK(2 Juni
2011). Keadilanpun makin menjadi “barang langka”. Para wakil
rakyatpun hanya berorientasi UUD
(Ujung-Ujungnya Duit), seperti
dinyanyikan Slank.Atau mungkin
seperti disuarakan
Permadi,sebenarnya kini tak ada wakil rakyat?Yang hada hanya wakil
partai,sehingga tiap anggota DPR/D
hanya sibuk berjuang demi
partainya,bukan demi rakyat. Pantas tak ada empati untuk rakyat
yang seharusnya mereka wakili.
Persetan, wong cilik korban busung
lapar atau gizi buruk. Persetan upah
rendah buruh, meski Istana Presiden
kerap jadi sasaran unjukrasa para buruh.Paling kemiskinan malah jadi
jualan politik demi kekuasaan. Kangen Berat Lihat wong cilik terus menjerit akibat
mahalnya harga sembako, minyak
tanah atau listrikHidup makin berat
bagi mereka. Jadi turunkan segera
harga sembako!Jangan salahkan
wong cilik jika mereka kini rindu berat pada Pak Harto,karena
dijamannya harga beras amat
murah,bahkan Indonesia
swasembada beras dan dipuji FAO
di Roma pada 1985. Minyak tanah
masih murah,sementara kini memakai kompor gas harus siap
mati. Di jaman Pak Harto, segalanya
berjalan stabil, tak ada teror, bom
atau senjata rakitan.Kaum minoritas
juga dilindungi sehingga tempat
ibadah juga tak dibakar. Jumlah penduduk juga belum
membengkak, kepemilikan asing
belum merajalela seperti sekarang,
pembangunan diprogram secara
sistematis.Ada fokus jelas ke masa
depan Indonesia mau seperti apa.Masa depan
Indonesia,seharusnya semanis dan
sewibawa senyum Pak Harto! Begitulah sosok Pak Harto, selalu
mengundang benci dan rindu.

No comments:

Post a Comment