WELCOME

SELAMAT DATANG

Tuesday, December 20, 2011

Cinta lama bersemi kembali

Kemarin pagi, mendadak saya
merasa dihadirkan pada masa-masa
kecil saya. Pada saat dimana Pak
harto berkuasa. Melihat semua
media berlomba-lomba
memberitakan satu tokoh yang sangat penting dan seperti menjadi
wajib untuk membicarakannya.
Namun, yang diceritakan kali ini
adalah sesuatu yang lain, sebuah
lembaran yang tak
pernah terbukukan, dan kini dibukukan menjadi “Soeharto The
untold stories”. Tidak tanggung-tanggung, buku
itu terdiri dari 600 halaman, berisi
wawancara sebanyak 113 tokoh
nasional dan bahkan internasional
yang pernah bersinggungan baik
langsung maupun tidak langsung dengan Pak Harto. Lantas kemudian
publik pun dibuat penasaran,
diaduklah perasaan mereka dan
jadilah merindukan tokoh Pak
harto bahkan sampai pada titik
“merindukan kepemimpinan beliau”. Cerita-cerita apik yang tertuang
dalam buku itu menjadi manis
dengan bahasa-bahasa yang
terkadang “sederhana”, hiperbolik
bahkan superlatif sampai pada
menggambarkan Pak Harto seperti Sayyidina Umar bin Khatthab
menjadi kian menarik diceritakan
oleh para nara sumbernya. Mereka
yang dekat dengan Pak Harto pada
masa itu kemudian berlomba-lomba
berbicara tentang suatu hal kepada halayak : ’kebaikan Pak Harto”. Mereka yang selama kurun waktu
13 tahun sejak reformasi tidak berani
muncul ke publik, sebab kita tahu
bahwa tuntutan reformasi adalah
“Adili Soeharto dan kroni-
kroninya”, tiba-tiba saja menjadi nara sumber di berbagai media
masa. Dan sontak saja masyarakat
yang menyaksikan mereka
mengahru biru dengan satu rasa,
“rasa rindu” akan pribadi Pak Harto,
rindu kepemimpinan beliau, bahkan rindu dengan ORDE BARU. Kita dudukan dulu masalah ini
secara arif pada fakta-fakta yang
ada, sembari saya ingin bertanya
kepada diri kita semua. Rindukah
kita pada kepemimpinan Pak Harto?
Rindukah pada segenap sistem yang diberlakukannya? Nanti dulu, saya ingin mengulang
lagi pertanyaan ini pada beberapa
kelompok di antara kita. Wahai
saudara-saudaraku para aktivis
muslim, rindukah kalian dengan
masa itu? dimana setiap apa yang kalian kerjakan dicurigai, dimata-
matai bahkan kalian harus
mengalami penculikan demi
penculikan? Dan masih ingatkah,
shalat jum’at yang menjadi
kewajiban kita sebagai muslim harus disertai ijin kepada aparat setempat? Wahai saudara-saudaraku
etnis China yang kami cintai karena
kita ini setara, rindukah kalian pada
masa-masa itu? Dimana kalian
hidup bagaikan di pengasingan?
Kalian tidak bisa sekedar menjadi bagian terpenting dalam sebuah
kontribusi di pemerintahan, bahkan
yang paling tragis, barong sai yang
menjadi kebanggan kalian pun
menjadi sesuatu yang haram di
negeri ini. Negeri yang telah melahirkan kalian dan nenek
moyang kalian. Wahai saudara-saudaraku para
wartawan, di manapun tugas
kalian. Yang bekerja di media
pertelevisian, yang bekerja di
penerbitan koran. rindukah kalian
pada masa itu? Saat kalian harus menghentikan acara televisi kalian
hanya karena ada instruksi wajib
menyiarkan “Laporan Khusus” yang
berisi kunjungan presiden, atau
bahkan saat media kalian harus
dibredel hanya karena tulisan kalian agak berasa pedas sedikit saja. Wahai kawan-kawanku para
mahasiswa, di manapun kampus
kalian. Yang bergerak dengan
segenap cap aktivis di dahi dan
lengan kalian, dari aktivis kiri
maupun kanan. Rindukah kalian dengan jaman itu? saat kalian harus
selalu berhadapan dengan senapan,
bukan lagi di jalanan tetapi di
kampus kalian? Dimana setiap
aktivitas kalian senantiasa diawasi,
dicurigai dan dikekang dengan sistem yang sangat kejam, NKK/
BKK. Kita perlu mendudukkan masalah ini
pada pikiran yang jernih. Sadarkah
kita bahwa secara tidak langsung
kita saat ini telah berada dalam
sebuah “pengkondisian”. Saat di
mana permasalahan besar menimpa partai penguasa rezim saat ini. Saat
bermunculan ketidakpercayaan
publik terhadap penegakkan hukum
yang tidak “garang” dengan
penguasa beserta kroninya. Saat
supremasi politik mengalahkan supremasi hukum dan melanggar
berbagai sisi-sisi kemanusiaan. Saat yang sama kita dihadirkan
pada buaian angan-angan masa
lalu. Tiba-tiba saja ada sebuah pintu
masuk bagi kerinduan-kerinduan
yang menjerat. Survey
indobarometer yang memunculkan bahwa Soeharto sebagai presiden
yang paling “disukai publik” dan
kemudian menjadi momentum yang
sangat pas dengan diluncurkannya
buku tebal untold stories itu.
Masyarakat pun dibuai dengan romantisme masa lalu, yang kadang
asli dan kadang palsu. Mereka bicara bahwa jaman
sekarang kemiskinan ada di mana-
mana, tidak seperti jaman dulu
jaman Pak Harto. Apakah benar
bahwa di jaman Pak Harto
kemiskinan tidak ada di mana- mana? tanyalah pada para
penduduk di sana yang saat itu tidak
terkspose media. Sebab, jurnalisme
masa itu tidak mungkinlah bercerita
secara “jujur” tentang kemiskinan.
Karena jurnalisme yang ada saat itu adalah “jurnalisme Pembangunan”.
Sekali saja ada yang nyleneh,
bukan tidak mungkin akan
mendapatkan pembredelan. Mereka bicara tentang kemakmuran
dan harga-harga barang kebutuhan
dimana kata mereka harga barang
lebih murah pada masa Pak Harto.
Tidak seperti saat sekarang semua
harga kebutuhan terasa menjulang. Ketahuilah, hutang di masa itu
begitu besar, bahkan sebagai
konsekwensinya kita benar-benar
tunduk dengan apa yang di katakan
oleh IMF. Hutang itu yang sekerang
akan menjadi warisan kita, bahkan anak cucu kita. Kitalah yang
tergadaikan. Begitu banyak cerita manis, yang
tertulis di buku itu menjadikan
masyarakat rindu dan membiru.
Mereka tidak lagi berpikir kritis
terhadap siapa penulisnya? apa
yang menjadi latar belakangnya? siapa penyandang dananya?
menuliskan buku setebal itu,
membutuhkan nara sumber
sebanyak 113 orang yang tidak
hanya ada di Indonesia tentu
membutuhkan dana yang besar. Tetapi kita sudahilah pembahasan
tentang dana ini. Kita bahas,
obyektifkah tulisan di buku itu?
“untold stories” mengapa kemudian
menjadi “positive stories”? Seolah
tidak ada satupun bintik hitam di dalam “untold stories”. Saya lebih suka terhadap buku
tentang serial tetralogi Pak Beye
yang di tulis oleh Wisnu Nugroho.
Untold stories yang diistilahkan
“cerita tidak penting” yang ditulis
oleh Mas Wisnu ini tidak kemudian menjadi bahan pencitraan dengan
kisah-kisah manis yang “menipu”
atau manipulatif. Tetapi menjadi
resume yang tetap kritis dan analitis
terhadap kejanggalan-kejanggalan
yang mengelilingi kehidupan SBY. Obyektif, membuka istana yang
selama ini terlalu terkunci tanpa
memprovokasi pada caci maki.
Kerinduan pada sosok pemimpin itu
bukanlah menjadi sesuatu yang
terlarang, tetapi akan menyedihkan apabila membawa kita pada arus
romantisme masa lalu. Romantisme
yang hanya menggambarkan kita
pada keindahan-keindahan yang
semu. Janganlah kita hanya terbuai
pada romantisme, kerena itulah penghambat kemajuan kita. Terimalah realita saat ini dan
perjuangkan apa yang belum
tercapai. Siapapun pemimpinnya,
mereka harus memenuhi amanah
untuk mensejahterakan rakyat
negeri ini. Pemimpin saat ini yang berkuasa, adalah gambaran dari
sebagian besar masyarakat kita.
Pemimpin yang korup dilahirkan
oleh masyarakat yang korup.
Pemimpin maling dilahirkan oleh
kelompok maling. Jadi, tugas kita adalah membenahi masyarakat,
menanamkan karakter agar mereka
tidak terjebak keuntungan sesaat
dalam menentukan pemimpinnya. Demokrasi mengajarkan pada kita
bahwa suara seorang tukang becak
itu sama nilainya dengan seorang
profesor yang punya tujuh titel
dibelakngnya. Bahwa suara seorang
penjahat paling jahatpun akan sama nilainya dengan suara pendeta,
kyai, biksu dan para pegiat agama.
Maka celah itulah yang harus kita
benahi, agar mereka tidak mudah
dibelokkan hatinya dengan iming-
iming “lima puluh ribu perak” yang mungkin akan habis dalam sehari.
Sebab angka itu tidaklah akan bisa
membayar penderitaan yang akan
dialami minimal lima tahun ke
depan. Buku itu sudah beredar, semua ingin
memilikinya semua ingin
membacanya, tidak terkecuali saya.
Tetapi, sikap arif kita adalah cukup
menjadikan itu sebagai inspirasi,
sebagai energi positif untuk membangkitkan optimisme kita
untuk tetap “bekerja”. Jangan
sampai kita terbuai dengan
romantisme dan angan-angan indah
masa lalu dan lupa akan begitu
banyak realita dan menjadi seorang yang benar-benar ”pelupa berat”.
Tetaplah bekerja, sesuai dengan
profesi kita dan memberikan
semaksimal mungkin kontribusi kita
untuk perbaikan Indonesia.

No comments:

Post a Comment